Salah satu contoh kasus anak yang mengalami retardasi mental terjadi
pada Aji seorang anak berusia 12 tahun yang seharusnya ia sudah kelas enam SD
bersama teman-teman sebayanya, tetapi karena kemampuan intelektualnya rendah
ia masih saja duduk di kelas empat SD. Menurut gurunya, ia agak lambat dalam
mengikuti pelajaran di sekolahnya. Oleh karena itu, Aji dari kelas satu sampai
kelas tiga SD untuk masing-masing tingkat ditempuh dua tahun. Keadaan ini
membuat orang tua Aji memindahkan sekolah umum ke sekolah luar biasa
(Wardoyo, 2006).
Contoh di atas merupakan gambaran penting dalam retardasi mental yaitu
fungsi intelektual umumnya berada di bawah rata-rata. Diperjelas oleh Munzert
(2002) bahwa intelegensi anak yang mempunyai IQ sedang antara 95-100,
sedangkan penderita retardasi mental IQ di bawah 50. Ditambahkan oleh
Lombanotobing (2001) bahwa retardasi mental merupakan ganguan
perkembangan fungsi penyesuaian yang melibatkan kecakapan dalam komunikasi,
merawat diri, tinggal di rumah, kecakapan sosial-interpersonal, bekerja,
berekreasi, kesehatan, dan keselamatan.
Kirk (dalam Wall, 1993) menyatakan bahwa retardasi mental oleh
masyarakat masih dianggap aneh, karena hanya sebagian kecil ± 2% anak yang
menderita mengalami retardasi mental dari setiap seribu anak. Keanehan sikap
masyarakat terhadap retardasi mental dapat dimaklumi karena masih banyak hal
yang belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Seperti penyebab
terjadinya retardasi mental akibat kerusakan jaringan otak yang hanya diketahui
oleh dokter. Orang tua yang memiliki anak retardasi mental membutuhkan
perawatan khusus, butuh pengetahuan, kesabaran, dan bimbingan yang spesifik.
Anak dengan retardasi mental biasa oleh masyarakat sering disamakan
dengan idiot, padahal belum tentu semua anak retardasi mental adalah idiot. Idiot
hanyalah istilah bagi anak retardasi mental yang sudah dalam taraf sangat berat.
Anak retardasi mental memiliki kemampuan intelektual yang rendah yang
membuat anak mengalami keterbatasan dalam bidang keterampilan, komunikasi,
perawatan diri, kegiatan sehari-hari, kesehatan dan keselamatan, akademis dan
occupational (Cahyaningrum, 2004).
Tanggapan negatif masyarakat tentang anak retardasi mental menimbulkan
berbagai macam reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi mental, seperti:
orang tua mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak yang retardasi
mental. Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat karena orang
tua merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Di sisi lain, ada pula
orang tua yang memberikan perhatian lebih pada anak retardasi mental. Orang tua
yang menyadari memiliki anak retardasi mental berusaha memberikan yang
terbaik pada anaknya dengan meminta bantuan pada ahli yang dapat menangani
anak retardasi mental. Orang tua yang memahami dan menyadari akan kelemahan
anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu perkembangan
anak dengan lingkungan (Suryani, 2005).
Wall (1993) berpendapat bahwa fenomena dalam masyarakat masih
banyak orang tua khususnya ibu yang menolak kehadiran anak yang tidak normal,
karena malu mempunyai anak yang cacat, dan tak mandiri. Orang tua yang
demikian akan cenderung menyangkal keberadaan anaknya dengan
menyembunyikan anak tersebut agar jangan sampai diketahui oleh orang lain.
Anak retardasi mental sering dianggap merepotkan dan menjadi beban bagi pihak
lain. Tindakan orang tua yang demikian ini akan memperparah keadaan anak yang
mengalami retardasi mental. Anak yang mengalami retardasi mental perlu
perhatian dan pendidikan khusus untuk membantu perkembangan intelektual
anak. Oleh sebab itu, orang tua perlu menyesuaikan dirinya dengan kehadiran
anak yang berbeda dengan anak lainnya.
Kartono (1993) berpendapat bahwa penyesuaian diri adalah cara seseorang
menghadapi dan memecahkan situasi yang mengandung masalah sampai tercapai
hasil yang diharapkan, dengan menyingkirkan segala hambatan dan tidak
menggunakan mekanisme yang keliru, seperti mekanisme pertahanan diri dan
mekanisme pelarian diri.
Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, kejiwaan
dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga
mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri. Individu sebagai
anggota masyarakat tidak dapat begitu saja melakukan tindakan yang dianggap
sesuai dengan dirinya. Karena individu tersebut mempunyai lingkungan di luar
dirinya, baik fisik maupun sosial. Selain itu di lingkungan juga memiliki aturan - aturan atau norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut, karena
itulah diperlukan penyesuaian diri (Agustini, 2002).
Davidoff (1991) berpendapat bahwa penyesuaian diri merupakan faktor
yang penting dalam kehidupan individu. Individu dituntut untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu
sendiri secara alamiah juga mendorong individu untuk terus-menerus melakukan
penyesuaian diri.
Gunarsa dan Gunarsa (1997) menyatakan bahwa orang tua yang memiliki
anak yang mengalami ketidaksempurnaan anggota tubuh atau keterlambatan
mental perlu sikap menerima keadaan diri dan keluarganya. Orang tua dapat
bersikap menerima keadaan dirinya yang mempunyai anak tidak sempurna agar
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Fahmi (1999) menjelaskan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah penerimaan
diri. Individu yang dapat menerima dirinya dengan baik, akan dengan mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Individu yang tidak dapat menerima
dirinya akan mengalami frustasi yang menjadikan individu merasa tidak berdaya
dan gagal sehingga tingkat penyesuaian dirinya buruk.
Orang tua yang dapat menerima keadaan dirinya yang mempunyai anak
retardasi mental akan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak
retardasi mental seperti anak-anak lain yang dimilikinya. Diperjelas oleh
Supriyapto (2001) bahwa orang tua dalam pola asuhnya harus dapat menciptakan
relasi atau hubungan sehat dengan anak dan menyediakan kebutuhan fisik, serta
keamanan bagi anak sehingga tercipta keluarga yang harmonis. Orang tua
menyadari bahwa anaknya yang mengalami retardasi mental memerlukan tempat
aman bagi perkembangan jiwa anak.
Jamaris (2005) berpendapat bahwa karakter dan integritas perkembangan
anak terbentuk pertama-tama di lingkungan keluarga. Di lingkungan kecil itulah
individu mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai melalui pendidikan yang
diberikan, tata nilai akan ditumbuhkembangkan agar yang bersangkutan siap
memasuki dunia nyata di luar kehidupan keluarga.
Wall (1993) berpendapat bahwa anak atau individu yang mengalami
retardasi mental memerlukan bantuan orang lain untuk menunjang hubungan
dengan individu lain agar dapat berjalan lancar. Peran orang tua sangat
dibutuhkan oleh anak yang mengalami retardasi mental. Anak-anak tersebut
memerlukan bimbingan dan arahan yang bijaksana dari orang tua. Sebagai
contohnya orang tua dapat menanamkan pengertian pada anak, bahwa setiap
manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.
Bisono (2003) seorang psikolog di Jakarta mengatakan bahwa orang tua
yang mempunyai anak cacat fisik atau mental memerlukan kesabaran dalam
membimbing anak tersebut, selain itu juga diperlukan pemahaman yang
mendalam mengenai pribadi anak. Dengan kesabaran dan pemahaman pribadi
anak, orang tua dapat membantu anak memiliki kepercayaan diri sehingga anak
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hurlock (1991) menambahkan
bahwa sikap positif orang tua terhadap anak yang memiliki keterbelakangan
mental akan membantu anak mampu memandang dirinya secara realistis serta
menilai kekuatan dan kelemahannya secara objektif.
Bantuan-bantuan yang dapat diberikan oleh orang tua menurut Hallahan
dan Kauffman (Wall, 1993) adalah bimbingan dan dorongan agar anak yang
mengalami retardasi mental dapat hidup mandiri. Oleh sebab itu, diperlukan
penanganan khusus dan keterlibatan orang tua agar anak retardasi mental dapat
berkembang secara optimal.
Dayakisni dan Hudaniyah (2003) berpendapat bahwa sikap dan kebiasaan
yang diterapkan oleh orang tua dalam keluarga menunjukkan adanya
kecenderungan yang mengarah pada pola pengelolaan dan perawatan terhadap
anak, sebagai usaha mencapai kebahagiaan keluarga.
Antara orang tua satu dengan orang tua lainnya dalam menggunakan pola
asuh berbeda. Ada bermacam-macam pola asuh orang tua. Macam-macam pola
asuh dibedakan atas pola asuh demokratis, otoriter, dan laizes faire (kebebasan).
Pola asuh demokratis merupakan gaya yang populer selama era neo-klasik. Pola
asuh demokratis menggunakan pendekatan kerjasama dalam mencapai tujuantujuan
pengasuhan dengan mengijinkan anak untuk berperan serta dalam
pengambilan keputusan. Pola asuh otokratis, pengambilan keputusan dipusatkan
pada tangan seorang pemimpin keluarga. Pola asuh laizes faire (kebebasan) orang
tua memberi kebebasan pada anak dalam melakukan perilaku (Shochib, 2002).
Masing-masing pola asuh tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian.
Kartono (2000) menjelaskan bahwa pola asuh demokratis memberikan banyak
keuntungan bagi orang tua dan anak. Anak merasa dihargai dengan sikap
demokratis orang tua sehingga antara anak dan orang terjalin komunikasi yang
harmonis. Kerugiannya, ada kemungkinan anak terlalu berani mengemukakan
pendapatnya sehingga ada kesan anak berani dengan orang tua. Shochib (2002)
berpendapat bahwa pola asuh otoriter memberikan dampak perasaan tertekan pada
anak karena diharuskan untuk mengikuti semua aturan orang tua. Keuntungannya,
anak dalam sikap dan perilaku sesuai aturan yang diterapkan oleh orang tua.
Supriyapto (2001) menyatakan bahwa keuntungan pola asuh kebebasan membuat
anak menjadi mandiri, tidak tergantung pada orang tua. Di sisi lain, kerugiannya
anak akan melakukan kebebasan tanpa batas yang dapat merugikan dirinya sendiri
atau orang tua, seperti anak ada kemungkinan terjerumus dalam pemakaian obat - obatan.
Gunarsa dan Gunarsa (2001) berpendapat bahwa kesatuan pandangan dan
tujuan pendidikan ayah dan ibu merupakan landasan penting bagi perkembangan
anak. Misalnya, orang tua sepakat bersikap disiplin dalam berbagai aspek akan
dicontoh oleh anak sehingga anak pun juga akan bersikap disiplin dan tidak ada
pertentangan antara orang tua dan anak. Dengan demikian, kesepakatan dan
kesatuan pandangan ayah dan ibu dalam mendidik anak akan menciptakan
suasana dalam keluarga yang terjalin harmonis.
Pola asuh yang dipilih orang tua dalam membimbing dan mendidik anak
retardasi mental yang berbeda dengan anak yang normal mengharuskan orang tua
melakukan penyesuaian diri dalam mendidiknya sehingga akan membantu
perkembangan anak retardasi mental.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang tua mempunyai pengaruh
yang besar bagi perkembangan anak yang mengalami retardasi mental. Orang tua
sebagai orang terdekat dalam kehidupan anak dapat membantu anak retardasi
mental dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sikap yang penuh cinta
kasih dan penerimaan terhadap apapun keadaan anak merupakan hal yang
dibutuhkan oleh anak. Permasalahan-permasalahan ini menarik untuk diteliti lebih
dalam.
sumber : Jurnal retardasi mental
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar