Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme
Cambridge, Penderita autis terlihat sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Kini peneliti menemukan penyebab kenapa penderita autis harus berjuang keras dalam lingkungan sosialnya.
Peneliti dari University of Cambridge yang melakukan penelitian dengan scan otak yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya, jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan.
Scan otak canggih yang didapatkan peneliti menunjukkan penderita autis terlihat kurang aktif bila terlibat dalam hal pemikiran tentang kesadaran diri. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnalBrain.
Penelitian ini telah menunjukkan adanya masalah pada penderita autis yaitu dalam hal kesulitan memikirkan sesuatu dan membuat rasa mengenai dirinya sendiri dan orang lain.
Para peneliti menggunakan scan resonansi magnetik fungsional untuk mengukur aktivitas otak dari 66 relawan laki-laki yang sekitar 50 persennya telah didiagnosis mengalami gangguan spektrum autis.
Para relawan ini diminta untuk memberikan penilaian mengenai pikiran dirinya sendiri, opini, preferensi, karakteristik fisik serta diharuskan memberikan penilaian terhadap orang lain.
Dengan melakukan scan terhadap otak para relawan dalam menanggapi berbagai pertanyaan tersebut, maka peneliti bisa melihat adanya perbedaan aktivitas otak antara penderita autis dengan yang tidak.
Peneliti sangat tertarik mengenai bagian dari otak yang disebut dengan ventrodial pre-frontal cortex (vMPFC) yang dikenal aktif ketika seseorang berpikir mengenai dirinya sendiri.
"Penelitian ini menunjukkan bahwa otak autis harus bekerja keras dalam memproses informasi mengenai dirinya sendiri, sedangkan untuk menjelajahi interaksi sosial dengan orang lain diperlukan usaha yang lebih keras lagi," ujar Michael Lombardo dari University of Cambridge, seperti dikutip dari BBC, Senin (14/12/2009).
"Kita tahu banyak penderita autis sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang lain dan membangun pertemanan, ini dikarenakan mereka mengalami kesulitan dalam mengenali dan memahami pikiran serta perasaan orang lain," ujar Dr Gina Gomez de la Cuesta dari National Autistic Society.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar