Learning Disabilities, Bukan Momok Mengerikan
Hot Topic Fri, 21 Jul 2006 16:00:00 WIB
Sindrom sulit belajar pada anak bisa disembuhkan dengan metode yang tepat bagi anak.
Pada dasarnya anak memiliki dorongan untuk belajar, tapi terkadang dihalangi oleh keterbatasan. Mungkin anak mengalami kesulitan belajar (learning disabilities). Kondisi merupakan gangguan proses psikologi dasar yang disebabkan kelainan fungsi pada sistem saraf di otak. “Gangguan ini ditampakkan pada ketidaksempurnaan membaca, menulis, berbicara atau yang berhubungan dengan bahasa dan berhitung,” papar Lody Paat, psikolog Pendidikan Luar Biasa.
Jangan segera menyalahkan jika anak mengalami kesulitan belajar. Lody mengatakan, anak dengan gangguan belajar memiliki masalah pada kemampuan meta kognisi. Artinya sulit mengatur pemahaman ketika menerima informasi atau salah memberikan respon. Oleh sebab itu sebaiknya orangtua memilki pengetahuan yang matang mengenai gangguan belajar pada anak.
Gangguan belajar pada anak tidak melulu dikaitkan dengan ‘kekurangan’, seperti autisme atau down syndrome. Jika ditilik lebih jauh ada tiga jenis kesulitan belajar yang dialami anak antara lain, menyangkut kemampuan membaca (disleksia), kemampuan menulis (disgrafia), dan kemampuan berhitung (diskalkulia).
Disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti ”sulit dalam” dan lex berasal dari legein, yang artinya ”berbicara”. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis.
Gejalanya, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. “Disleksia merupakan kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau tulisan,” kata Lody.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak memasuki bangku sekolah dasar. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
* Sulit mengeja dengan benar. Satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan bermacam ucapan.
* Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misalnya b-d, u-n, atau m-n.
* Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya atau tidak berurutan.
* Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
* Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata ”pelajaran” diucapkan menjadi ”perjalanan”.
Menurut psikolog pendidikan anak, Evita, hal lain yang bisa diamati adalah respon anak ketika diajak belajar membaca. Mimik wajahnya menjadi tegang dan sering menolak atau menangis saat disodorkan buku. “Ketidakmampuan ini sebenarnya disadari oleh anak, sehingga dia menjadi takut untuk membaca terutama jika mendapat tekanan dari lingkungannya,” ujar dosen pendidikan pada Universitas Negeri Jakarta ini.
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya. Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat ‘disembuhkan’. “Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia,” jelas Lody.
Untuk menentukan metode belajar yang cocok untuk anak disleksia, Evita menjelaskan, orangtua harus berkomunikasi dalam bentuk konkrit dengan anak menggunakan bantuan benda-benda atau gerak tubuh. Misalnya ketika bertanya “apakah kamu suka jeruk?’ sodorkan buah jeruk kepadanya dan biarkan dia memegangnya.
Disarankan Anda harus sering melatih pengucapan anak atau mendatangkan terapis yang ahli di bidang linguistik. Selain itu, cobalah penerapan metode VAKT (Visual Auditori Kinestetik Tactil) yang melibatkan rangsangan panca indera anak. Misalnya ketika anak membaca, biarkan anak melihat, mendengarkan, meraba tulisan dan menggerakkan tubuh mengikuti alur cerita. “Pada metode ini karena indera bekerja aktif anak akan lebih mudah mengingat dan memahami apa yang dibacanya,” terang Lody.
Disgrafia
Perlu dipahami disgrafia bukan disebabkan karena tingkat inteligensi yang rendah, kemalasan atau keterlambatan proses visual motoriknya. Anak dengan gangguan disgrafia mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak tangannya ketika menuliskan angka atau huruf. Kesulitan ini dapat menghambat proses belajar anak, terutama ketika anak berada di bangku SD. Mereka sulit menuliskan kata-kata yang diucapkan guru atau saat pelajaran mendikte.
Untuk mengetahui apakah anak mengalami disgrafia atau tidak, ada beberapa ciri-ciri umum, yaitu :
* Bentuk huruf tidak konsisten (sering berubah).
* Sulit memegang alat tulis dengan mantap. Pulpen atau pensil sering terlepas dari tangan. Hal ini bisa dikarenakan anak gugup atau tegang.
* Sering salah menulis kata-kata (dilakukan berulang-ulang). Misalnya menuliskan ‘kepala’ menjadi ‘kelapa’ atau ‘taman’ menjadi 'tangan'.
* Tetap mengalami kesulitan meski hanya menyalin tulisan saja.
* Terlalu memfokuskan pada tangannya ketika menulis. Sehingga terkadang tidak memperhatikan kata-kata yang ditulisnya.
* Anak sulit menginterpretasikan ide, perasaan atau pesan melalui tulisan.
Evita menyarankan, sebaiknya metode pengajaran yang digunakan orangtua atau guru tidak terlalu menuntut anak banyak menulis. Berikan tes lisan atau jawaban pilihan ganda, untuk membantu mereka belajar. “Lingkungan yang kondusif akan membuat anak tersebut lebih bersemangat untuk belajar. Jadi bantu mereka, bukan sebaliknya,”ujarnya.
Diskalkulia
Yakni gangguan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis, yang dibagi menjadi bentuk kesulitan berhitung dan kesulitan kalkulasi. Biasanya anak juga tidak memahami proses matematis, yang ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. “Anak diskalkulia sulit mendapatkan konsep perhitungan yang tepat, baik soal cerita maupun soal hitungan turunan,” papar Lody.
Selain itu Anda bisa mengamati gejala lainnya, antara lain :
* Sulit melakukan hitungan matematis, misalnya menghitung jumlah uang kembalian. Lambat laun anak akan takut memegang uang atau menghindari transaksi.
* Kesulitan menggunakan konsep waktu, anak bingung mengurutkan masa lampau dan masa sekarang.
* Ketika pelajaran olahraga, anak sulit menghitung skor pertandingan.
* Sebelum menghakimi anak karena tidak bisa mengerjakan tugas matematikanya, sebaiknya anda telaah dulu faktor-faktor penyebab diskalkulia. Adanya kelemahan proses penglihatan atau visualisasi, misalnya anak sulit fokus pada pelajaran atau permainan. Matematika membutuhkan prosedur penyelesaian yang berurut mengikuti pola-pola tertentu, anak diskalkulia sulit mengikuti prosedur tersebut. Bisa jadi anak fobia matematika, adanya keyakinan bahwa dia tidak bisa matematika. Mungkin disebabkan karena trauma dari pelajaran matematika, bisa dari sistem pengajaran di sekolah atau di rumah.
Meski anak mengalami diskalkulia bukan berarti anda tak bisa membantu mengatasinya. Ada beberapa hal yang dapat orangtua lakukan antara lain :
* Gunakan gambar, grafik, atau kata-kata untuk membantu pemahaman anak. Misalnya, ibu membeli anggur seharga lima ribu, gambarkan buah anggur dan uang kertas senilai lima ribu.
* Hubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika menghitung piring sehabis makan atau mengelompokkan benda sesuai dengan warna lalu menjumlahkannya dapat mempermudah anak berhitung.
* Buat pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menarik. Anda bisa menggunakan media komputer atau kalkulator. Lakukan latihan secara kontinyu dan teratur.
Anak yang mengalami gangguan belajar rentan untuk memilki masalah psikologis, seperti depresi, kecemasan, kesepian, konsep diri yang buruk dan kelak akan berdampak pada kenakalan remaja. “Dikatakan kesepian karena anak tersebut sulit mengekspresikan ide, alasan atau pesan melalui bahasa. Sehingga sulit menjalin hubungan dengan teman sebayanya,” ujar Evita.
Namun, jangan memandang sebelah mata pada anak yang memiliki gangguan belajar. Walau mengalami kesulitan-kesulitan tersebut di atas, mereka juga mempunyai beberapa kelebihan. Anak ‘luarbiasa’ ini tak jarang yang berbakat di bidang musik, seni, grafis, atau aktivitas-aktivitas kreatif lainnya. Karena proses berpikirnya melalui gambar, grafik atau bahasa tubuh tidak dengan huruf, angka, simbol atau kalimat. “Kecerdasan anak tidak hanya dinilai dari kecepatan membaca atau menulis dan jago matematika saja. Tapi juga banyak potensi yang bisa digali dan dikembangkan dari anak,”ujar Lody. Contohnya, Albert Einstein yang dikenal sebagai bapak ilmu pengetahuan ternyata mengalami gangguan membaca (disleksia) atau aktor Tom Cruise yang juga mengalami hal sama. Jadi, jangan berkecil hati, segera gunakan metode yang tepat.
Bagaimana sebaiknya orangtua menyikapi gangguan belajar pada anak? Dengan sikap dan cara yang tepat bukan mustahil potensi besar yang terpendam justru menjadi prestasi luar biasa:
Coba memahami keadaan anak.
Jangan membandingkan anak tersebut dengan anak-anak lain. Sikap seperti itu akan membuat anak menjadi stres dan frustasi. “Sebenarnya anak sudah menyadari kekurangannya dan juga merasa sedih. Jadi sebaiknya orangtua menjadi motivator bagi si anak,”ujar Evita, psikolog dan dosen pendidikan.
Jangan terlalu menuntut anak.
Orangtua layaknya manusia biasa yang menginginkan kesempurnaan. Namun, jangan terlalu menuntut dan bersikap tidak realistis kepada anak. Tuntutan ini kadang terlontar tanpa disadari, seperti 'kamu kok malas' atau 'kamu harus berusaha lebih keras lagi karena kamu gagal mendapat nilai bagus'. Hati-hati kata-kata itu dapat mempengaruhi konsep diri anak.
Menyajikan tulisan dengan media lain.
Beri kesempatan anak menulis dengan menggunakan media selain buku seperti komputer atau mesin ketik. Dengan menggunakan komputer anak bisa mengetahui kesalahannya dalam mengeja dengan menggunakan fasilitas korektor ejaan. “Orangtua juga dituntut untuk lebih kreatif lagi daam mengajari anak membaca, menulis dan berhitung,”ujar Evita.
Membangun rasa percaya diri anak.
Berikan pujian yang wajar bagi anak atas usahanya. Hindari untuk menyepelekan atau melecehkannya karena hal itu akan membuatnya rendah diri dan frustrasi. “Sebaiknya orangtua tidak mengatakan 'payah kamu' atau 'oh kamu tidak bisa' karena akan membuat anak malas mencoba belajar,”ujar Lody Paat, psikolog pendidikan luar biasa.
Latih anak untuk terus menulis.
Pilih metode yang sesuai dengan tingkat kemampuannya ketika menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya. Bisa juga memintanya untuk membuat gambar di tiap paragraf.
Temukan potensi Anak.
Jangan terpaku pada kekurangannya, berikan anak kesempatan untuk mengenal kemampuan lain selain membaca, menulis dan berhitung misalnya melukis, seni atau desain. Atau perluas pergaulannya sehingga anak mudah bersosialisasi. Hal ini juga dapat melatih kemampuan bahasanya.
Sesungguhya sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab Disleksia. Namun, sejumlah neurolog di AS berpendapat ini merupakan gangguan pada saraf atau otak, sama sekali bukan karena anak itu bodoh, idiot atau bahkan cacat jiwa seperti mayoritas pendapat orang. Walau tidak menjalani pengobatan khusus, penderita disleksia tidak akan selamanya menderita gangguan membaca dan menulis. Ketika pertumbuhan otak dan sel otaknya sudah sempurna, ia akan dapat mengatasinya. Tentu didukung dengan metode pelatihan yang tepat.
Sumber: Majalah Inspire Kids
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar